Beberapa hari sudah Alisa tidak masuk kuliah. Bahkan aku tidak bisa menghubunginya, ponselnya tidak aktif. Ada baiknya aku bertanya pada Renata saja. Kalau tidak salah ia adalah teman baik Alisa.
“Ren, Alisa kemana sih? Kog sudah beberapa hari ini dia
tidak masuk kuliah?” Tanya Riza
“Za, seharusnya aku
dilarang untuk cerita hal ini ke kamu. Tapi kurasa Alisa sangat membutuhkanmu
sekarang jadi akan kuceritakan.”
“Cerita apa, Ren? Apa maksudmu?”
“Alisa ditampar oleh mantan pacarnya, Revan.” Jawab Renata
pelan
“APA!!” Aku kaget
bisa-bisanya Revan melakukan itu kepada Alisa. “Kalau begitu aku harus cepat
bertemu Alisa!”
***
Sesampainya Riza di rumah
kos ku, ia dipersilahkan masuk oleh ibu kos ku. Kemudian aku dipanggil oleh ibu
kos ku bahwa ada yang mencariku. Sebenarnya aku sangat tidak ingin bertemu Riza
dengan kondisi seperti ini. Tapi apa boleh buat, aku keluar kamar. Dan Riza
terkejut melihat ada bekas kemerahan di pipiku. Matanya terlihat merah.
“Ini keterlaluan, Sa!!”
“Enggak apa-apa kog, za. Aku udah agak mendingan kog.” Jawabku.
“Tapi ini sudah kelewatan! Aku nggak habis pikir dia berani
menyakiti perempuan!” Tukasnya.
“Sudahlah, Za. Nggak usah di…”
“Karena aku menyukaimu, Sa.”
Potong Riza. “Dan aku nggak rela wanita yang aku sukai diperlakukan seperti
ini. Aku akan buat perhitungan dengannya!”
Aku terkesiap. Aku sama
sekali tidak menyangka bahwa Riza akan menyatakan hal itu. Rasanya waktuku
berhenti beberapa saat. Ada perasaan bahagia menyeruak, yang kemudian
mendorongku untuk mengatakan sesuatu yang selama ini aku cari jawabnnya.
“Riza, ada sesuatu juga yang ingin kukatakan..” belum
selesai aku menyelesaikan ucapanku, Riza langsung pergi meninggalkanku. Bahkan
ia tidak menggubris cegahanku. Segera kusetop taksi yang lewat dan berusaha
mengejar Riza. Riza tahu dimana ia bisa menemukan Revan karena dulu aku pernah
menceritakan tentang Revan kepadanya. Ya tuhan, aku tidak menyangka akhirnya
akan seperti ini.
***
Akhirnya Riza sampai
ketempat Revan berada. Tempat itu adalah sebuah areal kosong dengan dinding kawat
disekelilingnya. Tumpukan ban-ban bekas teronggok di sudut-sudut dinding. Hanya
ada satu bangunan di tengahnya yang juga kelihatan sudah tua. Debu dan sarang
laba-laba di sana-sini. Ada perasaan takut menyelimutiku. Firasatku buruk.
“KELUAR KAU REVAN!! AKU TAHU KAU ADA DI DALAM!” Teriak Riza.
“Riza aku pikir ini bukan ide yang bagus. Ayo, kita pergi
saja dari tempat ini.” Pintaku.
Tetapi Riza tetap tidak
menghiraukan kata-kataku. Dia terlihat sangat marah. Dia terus berteriak
memanggil nama Revan. Sampai akhirnya Revan keluar dengan beberapa anak
buahnya.
“Wah wah lihat siapa yang datang?” Tukas Revan.
“ah! Diam kamu, Van! Sekarang kau harus menerima balasan
dari perbuatanmu terhadap Alisa!”
“Hah! Dia memang pantas mendapatkannya!” cemoohnya.
Aku hanya bisa terdiam di
sisi mereka. Aku kenal Revan. Jika ia sudah marah, ia bisa melakukan apa saja. Riza
bisa saja dalam bahaya. Aku ingin sekali melerai mereka, namun kedua lututku
gemetar begitu kencang hingga aku bahkan tak sanggup melangkahkannya.
“Aku bahkan tidak harus menghadapimu, Za. Anak buahku saja
sudah cukup untuk mengalahkanmu.”
“Dasar pengecut! Bilang saja kau tidak berani menghadapiku
kan?”
“Tarik kembali kata-katamu barusan! Tapi kalau itu memang
maumu, baik, akan kulakukan sendiri. Kalian ayo pergi!” Perintah Revan kepada
anak buahnya.
Setelah semua anak buah Revan
pergi meninggalkan tempat itu, Riza segera maju dan meninju wajah Revan. Revan
terhuyung mundur beberapa langkah. Tetapi ia segera membalas tinjuan Riza
dengan pukulan telak ke arah perut. Mereka terus berkelahi. Riza benar-benar
tidak mau kalah, tetapi Revan jauh lebih kuat daripada Riza karena ia sudah
terbiasa dan sering berkelahi dengan orang lain. Akhirnya yang kutakutkan
benar. Riza akhirnya tak sanggup berkelahi lagi. Ia jatuh tersungkur ke tanah.
Ia terbaring. Namun bukan Revan namanya jika membiarkan lawannya selamat. Ia
mengangkat kerah baju Riza, kemudian meninju wajahnya lagi. Hingga wajah Riza
penuh lebam. Bibirnya berdarah. Ia terkapar. Dan lagi-lagi aku hanya bisa diam.
Tubuhku gemetar. Aku ingin berteriak, namun suaraku tertahan di tenggorokan,
tidak bisa keluar. Seakan mengerti perasaanku, langit yang tadinya cerah
berubah mendung dan turun hujan.
“ha.. ha.. ha.. kasihan
sekali kau Riza! Ambil ini! Seraya melemparkan sebuah pistol dari saku
kanannya.” Kurasa kau bahkan tidak sanggup lagi bahkan untuk memegangnya dan
menembakkan pelurunya ke arahku.
Revan berjalan menjauhi Riza
dan mendekatiku. Aku terlalu takut untuk melihatnya sekarang. Aku ingin berlari
menjauh, tetapi kakiku terasa sangat berat untuk digerakkan. Kemadian Revan
memegang wajahku dan berkata.
“lihat laki-laki yang kau pilih daripada aku, Alisa. Dia
sudah terkapar. Hampir mati!” Seraya
tertawa.
“Kau masih ingat dengan
kata-kataku yang dulu, Alisa?” Sambung Revan. “Tak ada yang boleh memilikimu
selain aku. Jadi sekarang lihatlah dia mati.”
Revan berdiri dan
mengambil sebuah pistol dari saku kirinya dan menembakkannya ke arah tubuh Riza.
Aku berteriak histeris. Ada perasaan sakit yang tak tertahankan. Rasa sakit
yang sama seperti saat aku kehilangan ayah, kehilangan orang yang aku cintai.
Apakah ini artinya bahwa perasaanku kepada Riza adalah cinta. Sesuatu
meyakinkanku dari dalam hati. Ya, ini cinta. Setelah aku menyadari ini semua,
tiba-tiba aku merasa kuat. Cinta memberiku kekuatan untuk melindungi orang yang
aku cintai. Aku segera berlari ke arah Revan dan memukulnya. Tetapi tetap saja
aku tidak cukup kuat untuk bisa menjatuhkannya. Revan menahan pukulanku dan
mendorongku hingga aku terjatuh
“sayang sekali, Alisa.
Sekarang dengarkan aku! Kalau aku pun tidak bisa mendapatkanmu, maka lebih baik
kau juga mati saja!” Ucap Revan sambil menodongkan pistol kearahku.
“Bunuh aku, Rev! Bunuh aku! Tukasku. Setidaknya jika aku
mati, aku mati untuk cinta!”
Revan tertegun. Ia
terlihat terkejut.
“berdoalah. Semoga kalian bisa bertemu di alam baka.
Sekarang kau lebih baik menutup kedua matamu. Itu akan lebih membantu.” Seraya
mengembangkan senyum sinisnya.
Aku tutup kedua mataku.
Aku takut. Tetapi rasa cinta ini lebih besar dari rasa takutku. Aku telah
meyakinkan diriku sendiri bahwa bagaimana pun juga aku harus melewati semua
ini. Aku tarik napas yang dalam. Napas yang mungkin menjadi yang terakhir
untukku.
“Tarik saja pelatuknya, Rev.” ucapku pelan.
Kemudian, satu detik.. dua
detik..
DOORRR!!!!
aku terdiam untuk beberapa
saat. Apakah aku sudah mati? Tapi kenapa aku tidak merasakan apa-apa? Kucoba
untuk membuka mata perlahan. Aku tidak mati! kemudian kulihat Revan berdiri
terpaku. Aku bingung. Namun segera kulihat noda merah didadanya. Itu darah!
Ternyata Revan tertembak. Ia jatuh ke tanah dan segera kutangkap kemudian
kubaringkan di tanah. Jadi suara tembakan itu.. tapi siapa yang..??? di
belakang Revan kulihat Riza memegang pistol dengan gemetar. Kemudian pistol itu
ia lepaskan dan berusaha berjalan mendekatiku. Ia terjatuh saat ia sudah berada
di dekatku. Kutangkap badannya. Ia memelukku. Pelukannya saat itu tersaa sangat
hangat. Dinginnya titik hujan seakan tak terasa lagi
“Alisa, maaf aku sudah membuatu cemas.” Ujarnya pelan.
“Riz, kamu terluka! You don’t have to say anything right now,
please!” Pintaku. “kita harus ke rumah sakit. Aku harus cari bantuan.”
Kataku sambil berusaha berdiri namun Riza memegang tanganku.
“Nggak usah, Sa. Aku nggak apa-apa.”
“Nggak apa-apa
bagaimana??! kamu tertembak, za!” Isakku. Air mataku sudah tidak terbendung
lagi dan aku mulai menangis.
“Nggak usah menangis, Sa.
Aku akan sembuh kog. Aku akan ada untuk menjagamu. Lagipula ditemani kamu
disini sudah membuat rasa sakitnya hilang, Sa.”
Aku tak bisa berkata-kata.
Aku terlalu sibuk dengan air mataku yang terus keluar. Kemudian Riza memegang
tanganku.
“Sa, aku ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu. Sejak kita
dekat, bahkan saat pertemuan kita yang pertama, aku sudah suka padamu. Aku
sungguh-sungguh menyukaimu, Sa dan Alisa Arindina, maukah kau menjadi pacarku??”
ucap Riza lirih.
Aku hanya bisa
menganggukan kepalaku untuk menjawab pertanyaannya. Perasaanku campur aduk. Aku
begitu bahagia hingga aku tidak bisa membedakan air mata bahagia ataukan
kesedihan dan ketakutan yang keluar dari kedua mataku.
“Iya tersenyum. Senang rasanya mendengar jawaban itu walau
di akhir.” Ucapnya.
“Di akhir? Apa maksudnya, Za?! Riza tolong bertahanlah! Aku
akan panggil bantuan. Tolong jangan buat aku takut.”
"Haha..” Riza tertawa kecil. “Aku cuma capek, Sa.
Capeek sekali.” Jawabnya pelan.
“Dan sekarang aku sangat lelah, Sa. Aku suma ingin tidur
yang lama untuk menghilangkan capekku ini. Aku ingin istirahat sebentar.. ya?”
“Riza? Riza? Riza!! sadar Riz! Nggak boleh! Kamu nggak
boleh istirahat! Buka kedua matamu, Riz! Riza! Rizaaa!! tangisku pecah lagi.
Dadaku terasa sangat sesak. Rasanya duniaku seperti berakhir. Pelukan Riza tak
lagi hangat. Kedua matanya tertutup rapat. Riza mati di pelukanku.
Saat itu hanya ada
tangisanku dan deru hujan. Seandainya saja aku menyadari rasa ini lebih cepat.
Seandainya saja aku dapat mengulang waktu. ya.. seandainya saja. Hanya
seandainya saja. Aku hanya ingin bilang cinta kepadamu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar